Welcome to Dian Kurniawati blog

Welcome to  Dian Kurniawati blog
Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lain

Jumat, 06 Juli 2012

SENDAL JEPIT ISTRIKU.....

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Selera makanku mendadak punah.
Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini.

Duh…
betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti
ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah.

Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin
nggak ketulungan.

“Ummi… Ummi,
kapan kau dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau
tak keaseman… ya kepedesan!”



Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.”Sabar
bi…, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah.

Katanya mau kayak
Rasul…? ” ucap isteriku kalem.
“Iya… tapi abi kan manusia biasa.
Abi belum bisa sabar seperti Rasul.
Abi tak tahan kalau makan terus
menerus seperti ini…!”

Jawabku dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi,
kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam.

Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.

***

Sepekan sudah aku ke luar kota.
Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput
harapan untuk menemukan ‘baiti
jannati’ di rumahku.

Namun apa yang terjadi…?

Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa
yang kuimpikan.

Sesampainya di
rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja,
rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah).

Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini.
Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw…
berember-ember.

Ditambah lagi
aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi
tak juga dicuci.

Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil
mengurut dada.

“Ummi…ummi,
bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus
begini…?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Ummi… isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi
dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga.

Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah…?” Belum sempat kata-
kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan begitu pilu.

“Ah…wanita gampang sekali untuk menangis…,” batinku berkata dalam hati.

“Sudah diam Mi, tak
boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya.

“Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan
karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah.

Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap
isteriku diselingi isak tangis.

“Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat
tetap merebak.

***

Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku.

“Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari ini.
Berangkat sendiri saja ya?” ucapku.

“Ya sudah, kalau abi
sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku.

“Lho, kok bilang gitu…?” selaku.

“Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam
bus dengan suasana panas menyengat.

Tapi mudah-mudahan
sih nggak kenapa-kenapa,” ucap
isteriku lagi.

“Ya sudah, kalau
begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.

Pertemuan hari ini
ternyata diundur pekan depan.
Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku.

Entah kenapa hati ini
tiba-tiba saja menjadi rindu padanya.

Motorku sudah sampai di
tempat isteriku mengaji.

Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu
berjajar, ini pertanda acara belum selesai.

Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-
indah dan kelihatan harganya begitu mahal.

“Wanita, memang
suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,”
aku membathin sendiri.

Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada
sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.

Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya
hatiku.

Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu.

Tes! Air mataku jatuh
tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah
memperhatikan isteriku.

Sampai-sampai kemana ia pergi harus
bersandal jepit kumal.

Sementara
teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku.

“Krek…,” suara
pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping.

Kulihat dua ukhti
berjalan melintas sambil
menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah
warna baju dan jilbab umminya.

Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas
ukhti-ukhti yang lain.

Namun, belum juga kutemukan Maryamku.

Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi
isteriku belum juga keluar.

Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan
berjilbab hitam melintas.

“Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku.

Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja.

Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh
pula warnanya.

Diam-diam hatiku
kembali dirayapi perasaan berdosa
karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak
menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya.

Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangankekurangan isteriku,

padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai
Maryamku Aku benar-benar menjadi malu
pada Allah dan Rasul-Nya.

Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain,

sedang isteriku tak
pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata:
“Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling
baik terhadap keluarganya.”
Sedang aku..?
Ah, kenapa pula
aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli
isterinya dengan baik.

Sedang aku…?

terlalu sering ngomel dan
menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya.
Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!”
panggilku,

ketika tubuh berbaya gelap itu melintas.

Tubuh itu lantas berbalik ke arahku,
pandangan matanya menunjukkan
ketidakpercayaan atas
kehadiranku di tempat ini.

Namun,
kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum.
Senyum bahagia.

“Abi…!” bisiknya
pelan dan girang.

Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini.
“Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.

***

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku.

Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali
mengembang dari bibirnya.

“Alhamdulillah,
jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus.

Ah, Maryam, lagi-lagi
hatiku terenyuh melihat polahmu.

Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku.
Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri
zuhud dan
‘iffah sepertimu?

Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku…?

Semoga berguna bagi kita semua….amin ya rabbal alamien
Wassalam.


sumber : http://www.facebook.com/CintakucintaAllah
Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Digg
Facebook
Reddit
Feed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mengatakan