Welcome to Dian Kurniawati blog

Welcome to  Dian Kurniawati blog
Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lain

Jumat, 06 Juli 2012

kisah muslimah

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Foto: Assalamu'alaykum.... <3

Bismillah.. Semoga bisa diambil
manfaatnya oleh saudari-saudari
muslimahku.. (KISAH) Sore itu,,
menunggu kedatangan teman
yang akan menjemputku di masjid
ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk
disampingku, mengucapkan salam,
sambil berkenalan dan sampai pula
pada pertanyaan itu. “anty
sudah menikah?”. “Belum mbak”,
jawabku. Kemudian akhwat itu bertanya lagi “kenapa?” hanya
bisa ku jawab dengan senyuman..
ingin ku jawab karena masih
kuliah, tapi rasanya itu bukan
alasan. “Mbak menunggu siapa?”
aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat
kesamping kirinya, sebuah tas
laptop dan sebuah tas besar lagi
yang tak bisa kutebak apa isinya.
Dalam hati bertanya- tanya, dari
mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga
untuk bertanya “Mbak kerja di
mana?”, entahlah keyakinan apa
yang meyakiniku bahwa mbak ini
seorang pekerja, padahal setahu
ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi
sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu
saya resmi tidak bekerja lagi” ,
jawabnya dengan wajah yang
aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi. Dia
hanya tersenyum dan menjawab
“karena inilah cara satu cara
yang bisa membuat saya lebih
hormat pada suami” jawabnya tegas. Aku berfikir sejenak, apa
hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum. Ukhty, boleh
saya cerita sedikit? Dan saya
berharap ini bisa menjadi
pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan
didatangi oleh ikhwan yang
sangat mencintai akhirat. “Saya
bekerja di kantor, mungkin tak
perlu saya sebutkan
nama kantornya. Gaji saya 7juta/ bulan. Suami saya bekerja sebagai
penjual roti bakar di pagi
hari, es cendol di siang hari. Kami
menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama kalinya
saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu itu jam
7 malam, suami baru menjemput
saya dari kantor, hari ini lembur,
biasanya sore jam 3 sudah pulang.
Saya capek sekali ukhty. Saat itu
juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya
saya juga lagi pusing . Suami
minta diambilkan air minum, tapi
saya malah berkata, “abi, umi
pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30
saya terbangun dan cepat-cepat
sholat, Alhamdulillah pusing pun
telah hilang. Beranjak dari
sajadah, saya melihat suami saya
tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring
sudah bersih tercuci. Siapa lagi
yang bukan mencucinya kalo
bukan suami saya? Terlihat lagi
semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah
abi juga pusing tadi malam? Saya
segera masuk lagi ke kamar,
berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi
terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa
saya, saya pegang wajah suami
saya itu, ya Allah panas sekali
pipinya, keningnya, Masya Allah,
abi demam, tinggi sekali panasnya.
Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi.
Hanya disuruh mengambilkan air
minum saja, saya membantahnya.
Air mata ini menetes, betapa
selama ini saya terlalu sibuk di
luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.” Subhanallah,
aku melihat mbak ini cerita
dengan semangatnya, membuat
hati ini merinding. Dan kulihat juga
ada tetesan air mata yang di
usapnya. “Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh
dengan gaji saya. Sekitar
600-700rb/bulan. 10x lipat dari
gaji saya. Dan malam itu saya
benar-benar merasa durhaka
pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak
perlu meminta nafkah pada suami,
meskipun suami selalu memberikan
hasil jualannya itu pada saya, dan
setiap kali memberikan hasil
jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari
Allah. Di ambil ya. Buat keperluan
kita. Dan tidak banyak jumlahnya,
mudah- mudahan umi ridho”,
begitu katanya. Kenapa baru
sekarang saya merasakan dalamnya kata- kata itu. Betapa
harta ini membuat saya sombong
pada nafkah yang diberikan suami
saya”, lanjutnya “Alhamdulillah
saya sekarang memutuskan untuk
berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa
menghargai nafkah yang diberikan
suami. Wanita itu begitu
susah menjaga harta, dan karena
harta juga wanita sering lupa
kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya
lagi, tak memberikan kesempatan
bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya
berkunjung ke rumah orang tua,
dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua,
dan saudara-saudara saya tidak
ada yang mendukung niat saya
untuk berhenti berkerja . Malah
mereka membanding-bandingkan
pekerjaan suami saya dengan orang lain.” Aku masih terdiam,
bisu, mendengar keluh kesahnya.
Subhanallah, apa aku bisa seperti
dia? Menerima sosok pangeran
apa adanya, bahkan rela
meninggalkan pekerjaan. “Kak, kita itu harus memikirkan masa
depan. Kita kerja juga untuk
anak-anak kita kak. Biaya hidup
sekarang ini besar. Begitu banyak
orang yang butuh pekerjaan. Nah
kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun
penghasilannya kurang. Mending
kalo suami kakak pengusaha
kaya, bolehlah kita santai-santai
aja di rumah. Salah kakak juga
sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama
yang kaya. Sama dokter muda itu
yang berniat melamar kakak
duluan sebelum sama yang ini.
Tapi kakak lebih milih nikah sama
orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak
bapak, Cuma suami kakak yang
tidak punya penghasilan tetap
dan yang paling buat kami kesal,
sepertinya suami kakak itu lebih
suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri
yang ingin membantupun tak mau,
sampai heran aku, apa maunya
suami kakak itu”. Ceritanya
kembali, menceritakan ucapan adik
perempuannya saat dimintai pendapat. “anty tau, saya hanya
bisa nangis saat itu. Saya
menangis bukan Karena apa yang
dikatakan adik saya itu benar,
bukan karena itu. Tapi saya
menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya.
Bagaimana mungkin dia
maremehkan setiap tetes
keringat suami saya, padahal
dengan tetesan keringat itu, Allah
memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang
senantiasa membanguni saya
untuk sujud dimalam hari.
Bagaimana mungkin dia menghina
orang yang dengan kata-kata
lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang berani
datang pada orang tua saya
untuk melamar saya, padahal saat
itu orang tersebut belum
mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu
saya muliakan, ternyata begitu
rendah di hadapannya hanya
karena sebuah pekerjaaan. Saya
memutuskan berhenti bekerja,
karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya
dengan gaji suami saya. Saya
memutuskan berhenti bekerja
juga untuk menghargai nafkah
yang diberikan suami saya. Saya
juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak
suami saya. Semoga saya tak lagi
membantah
perintah suami. Semoga saya juga
ridho atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat
bangga, bahkan begitu
menghormati pekerjaannya,
karena tak semua orang punya
keberanian dengan pekerjaan itu.
Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti
itu. Tapi lihatlah suami saya, tak
ada rasa malu baginya untuk
menafkahi istri dengan nafkah
yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami
saya. Semoga jika anty
mendapatkan suami seperti saya,
anty tak perlu malu untuk
menceritakannya pekerjaan suami
anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi
masalah halalnya, berkahnya, dan
kita memohon pada Allah, semoga
Allah menjauhkan suami kita dari
rizki yang haram”. Ucapnya
terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya,
bergegas ingin meninggalkannku.
Kulihat dari kejauhan seorang
ikhwan dengan menggunakan
sepeda motor butut mendekat ke
arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku
menatap mukanya. Sambil
mengucapkan salam,
meninggalkannku. Wajah itu
tenang sekali, wajah seorang istri
yang begitu ridho. Ya Allah…. Sekarang giliran aku yang
menangis. Hari ini aku dapat
pelajaran paling baik dalam
hidupku. Pelajaran yang
membuatku menghapus sosok
pangeran kaya yang ada dalam benakku.. Subhanallah.. Semoga
pekerjaan, harta tak pernah
menghalangimu untuk tidak
menerima pinangan dari laki-laki
yang baik agamanya


semoga bermanfaat
sumber : http://bloghidayahwordpress.com
Semoga bisa diambil
manfaatnya oleh saudari-saudari
muslimahku.. (KISAH) Sore itu,,
menunggu kedatangan teman
yang akan menjemputku di masjid
ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk
disampingku, mengucapkan salam,
sambil berkenalan dan sampai pula
pada pertanyaan itu. “anty
sudah menikah?”. “Belum mbak”,
jawabku. Kemudian akhwat itu bertanya lagi “kenapa?” hanya
bisa ku jawab dengan senyuman..
ingin ku jawab karena masih
kuliah, tapi rasanya itu bukan
alasan. “Mbak menunggu siapa?”


aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat
kesamping kirinya, sebuah tas
laptop dan sebuah tas besar lagi
yang tak bisa kutebak apa isinya.
Dalam hati bertanya- tanya, dari
mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga
untuk bertanya “Mbak kerja di
mana?”, entahlah keyakinan apa
yang meyakiniku bahwa mbak ini
seorang pekerja, padahal setahu
ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi
sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu
saya resmi tidak bekerja lagi” ,
jawabnya dengan wajah yang
aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi. Dia
hanya tersenyum dan menjawab
“karena inilah cara satu cara
yang bisa membuat saya lebih
hormat pada suami” jawabnya tegas. Aku berfikir sejenak, apa
hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum. Ukhty, boleh
saya cerita sedikit? Dan saya
berharap ini bisa menjadi
pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan
didatangi oleh ikhwan yang
sangat mencintai akhirat. “Saya
bekerja di kantor, mungkin tak
perlu saya sebutkan
nama kantornya. Gaji saya 7juta/ bulan. Suami saya bekerja sebagai
penjual roti bakar di pagi
hari, es cendol di siang hari. Kami
menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama kalinya
saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu itu jam
7 malam, suami baru menjemput
saya dari kantor, hari ini lembur,
biasanya sore jam 3 sudah pulang.
Saya capek sekali ukhty. Saat itu
juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya
saya juga lagi pusing . Suami
minta diambilkan air minum, tapi
saya malah berkata, “abi, umi
pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30
saya terbangun dan cepat-cepat
sholat, Alhamdulillah pusing pun
telah hilang. Beranjak dari
sajadah, saya melihat suami saya
tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring
sudah bersih tercuci. Siapa lagi
yang bukan mencucinya kalo
bukan suami saya? Terlihat lagi
semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah
abi juga pusing tadi malam? Saya
segera masuk lagi ke kamar,
berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi
terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa
saya, saya pegang wajah suami
saya itu, ya Allah panas sekali
pipinya, keningnya, Masya Allah,
abi demam, tinggi sekali panasnya.
Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi.
Hanya disuruh mengambilkan air
minum saja, saya membantahnya.
Air mata ini menetes, betapa
selama ini saya terlalu sibuk di
luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.” Subhanallah,
aku melihat mbak ini cerita
dengan semangatnya, membuat
hati ini merinding. Dan kulihat juga
ada tetesan air mata yang di
usapnya. “Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh
dengan gaji saya. Sekitar
600-700rb/bulan. 10x lipat dari
gaji saya. Dan malam itu saya
benar-benar merasa durhaka
pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak
perlu meminta nafkah pada suami,
meskipun suami selalu memberikan
hasil jualannya itu pada saya, dan
setiap kali memberikan hasil
jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari
Allah. Di ambil ya. Buat keperluan
kita. Dan tidak banyak jumlahnya,
mudah- mudahan umi ridho”,
begitu katanya. Kenapa baru
sekarang saya merasakan dalamnya kata- kata itu. Betapa
harta ini membuat saya sombong
pada nafkah yang diberikan suami
saya”, lanjutnya “Alhamdulillah
saya sekarang memutuskan untuk
berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa
menghargai nafkah yang diberikan
suami. Wanita itu begitu
susah menjaga harta, dan karena
harta juga wanita sering lupa
kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya
lagi, tak memberikan kesempatan
bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya
berkunjung ke rumah orang tua,
dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua,
dan saudara-saudara saya tidak
ada yang mendukung niat saya
untuk berhenti berkerja . Malah
mereka membanding-bandingkan
pekerjaan suami saya dengan orang lain.” Aku masih terdiam,
bisu, mendengar keluh kesahnya.
Subhanallah, apa aku bisa seperti
dia? Menerima sosok pangeran
apa adanya, bahkan rela
meninggalkan pekerjaan. “Kak, kita itu harus memikirkan masa
depan. Kita kerja juga untuk
anak-anak kita kak. Biaya hidup
sekarang ini besar. Begitu banyak
orang yang butuh pekerjaan. Nah
kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun
penghasilannya kurang. Mending
kalo suami kakak pengusaha
kaya, bolehlah kita santai-santai
aja di rumah. Salah kakak juga
sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama
yang kaya. Sama dokter muda itu
yang berniat melamar kakak
duluan sebelum sama yang ini.
Tapi kakak lebih milih nikah sama
orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak
bapak, Cuma suami kakak yang
tidak punya penghasilan tetap
dan yang paling buat kami kesal,
sepertinya suami kakak itu lebih
suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri
yang ingin membantupun tak mau,
sampai heran aku, apa maunya
suami kakak itu”. Ceritanya
kembali, menceritakan ucapan adik
perempuannya saat dimintai pendapat. “anty tau, saya hanya
bisa nangis saat itu. Saya
menangis bukan Karena apa yang
dikatakan adik saya itu benar,
bukan karena itu. Tapi saya
menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya.
Bagaimana mungkin dia
maremehkan setiap tetes
keringat suami saya, padahal
dengan tetesan keringat itu, Allah
memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang
senantiasa membanguni saya
untuk sujud dimalam hari.
Bagaimana mungkin dia menghina
orang yang dengan kata-kata
lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang berani
datang pada orang tua saya
untuk melamar saya, padahal saat
itu orang tersebut belum
mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu
saya muliakan, ternyata begitu
rendah di hadapannya hanya
karena sebuah pekerjaaan. Saya
memutuskan berhenti bekerja,
karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya
dengan gaji suami saya. Saya
memutuskan berhenti bekerja
juga untuk menghargai nafkah
yang diberikan suami saya. Saya
juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak
suami saya. Semoga saya tak lagi
membantah
perintah suami. Semoga saya juga
ridho atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat
bangga, bahkan begitu
menghormati pekerjaannya,
karena tak semua orang punya
keberanian dengan pekerjaan itu.
Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti
itu. Tapi lihatlah suami saya, tak
ada rasa malu baginya untuk
menafkahi istri dengan nafkah
yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami
saya. Semoga jika anty
mendapatkan suami seperti saya,
anty tak perlu malu untuk
menceritakannya pekerjaan suami
anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi
masalah halalnya, berkahnya, dan
kita memohon pada Allah, semoga
Allah menjauhkan suami kita dari
rizki yang haram”. Ucapnya
terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya,
bergegas ingin meninggalkannku.
Kulihat dari kejauhan seorang
ikhwan dengan menggunakan
sepeda motor butut mendekat ke
arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku
menatap mukanya. Sambil
mengucapkan salam,
meninggalkannku. Wajah itu
tenang sekali, wajah seorang istri
yang begitu ridho. Ya Allah…. Sekarang giliran aku yang
menangis. Hari ini aku dapat
pelajaran paling baik dalam
hidupku. Pelajaran yang
membuatku menghapus sosok
pangeran kaya yang ada dalam benakku.. Subhanallah.. Semoga
pekerjaan, harta tak pernah
menghalangimu untuk tidak
menerima pinangan dari laki-laki
yang baik agamanya


semoga bermanfaat
sumber : http://bloghidayahwordpress.com/
Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Digg
Facebook
Reddit
Feed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mengatakan