Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak.
Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan
mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya.
Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan
uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk
ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi
semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah
melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang
dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia
akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang
ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah
mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan
hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih.
Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah
tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau
jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak
tuanya.
Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh,
di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para
penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya,
karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat
sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek
dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya
setelah sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan
tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh
bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi
beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah
bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya
dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari
kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah,
lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu
bila malam telah menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa
ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak
saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak
orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka
menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan
bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan
pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya,
sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak
untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan
baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak
dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua
uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan
sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak
yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak
yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat
setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak
lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa
untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil
itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus
dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat
jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang
diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu
berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang
diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu
yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak
itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan
sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan
roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari
surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu,
dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak
itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya
cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli
makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka
pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja
untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil” sahut
anak itu. Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik
anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih
melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun
dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus,
kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak
terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak
berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang
sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka
sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa
menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu
Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua
penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka
mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan
pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh
becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat
untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah
dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan
siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan
malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk
sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah
kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa
bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak
untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit
sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih
cukup bagus… gumannya senang. Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama
365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti,
ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas
matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang
miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya
bahagia melakukan semua ini,” katanya bila orang-orang menanyakan
mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli
dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga
hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang
untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.
Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar
RMB 500 (sekitar 650 ribu Rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam
suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya
tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
sumbangkan” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan.
Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang
sebesarRMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah jika tidak salah)
yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di
Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.(Kisah ini saya
ambil dari facebook)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mengatakan