Pak Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970
ini lahir dari kalangan terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan
tentara. Sekarang menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten baru di
Sulawesi Utara. Sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya saat
bujang termasuk salah seorang generasi yang nakal. “Saya tidak perlu
cerita masa lalu saya. Yang pasti saya juga dulu pernah nakal,”
tukasnya.
Lantaran kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa bagian
badannya terdapat bekas tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika
untuk menghilangkan tatonya. “Ini dulu bekas tato. Tapi semua sudah saya
setrika,” katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu.
Postur tubuhnya memang tampak mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia
pernah nakal, tetapi pendidikan formalnya sampai ke tingkat doktor. Ia
menyandang gelar doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya
memperlihatkan ijazah asli yang dikeluarkan Institut Theologia Oikumene
Imanuel Manado tertanggal 10 Januari 2004. Sehingga titel yang
didapatnya pun akhirnya lengkap menjadi Dr. Yahya Yopie Waloni, S.TH,
M.TH.
Sebelum menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya
Yahya mengaku sempat bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah
lamanya, kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli.
Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali
berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si penjual
ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.
“Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa
Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik
sekali dengan saya,” cerita Yahya.
Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya mengaku
berdialog panjang soal Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, karena si penjual
ikan yang mengaku tidak lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi begitu mahir
dalam menceritakan soal Islam.
Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si penjual ikan itu sudah
tampak lelah. “Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa
saja. Tapi si penjual ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya,”
cerita Yahya.
Sampai saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan
penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana
(salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa
orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang dijelaskan
Yahya, tapi si penjual ikan itu tetap tidak ditemukan.
Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik
internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana
(sekarang Mutmainnah, red), tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia
tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. “Malah saya dianggap
sudah gila,” katanya. Tidak lama setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17
Ramadan 1427 Hijriah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita.
Ia antara sadar dengan tidak mengaku mimpi bertemu dengan seseorang yang
berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara Yahya di lantai
dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang
berpakaian serba putih itu. “Saya dialog dengan bapak itu. Namanya,
katanya Lailatulkadar,” ujar Yahya mengisahkan.
Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia
sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah,
Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama
berselang, dua perempuan masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk,
tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas.
“Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh badan saya, mulai dari
ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena
malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja
begitu,” cerita Yahya.
Sekitar dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar
suara tangisan. Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil.
Yahya yang masih dalam kondisi panas-dingin, menghampiri suara tangisan
itu. Ternyata, yang menangis itu adalah istrinya, Lusiana.
“Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa
menangis. Dia tidak menjawab, malah langsung memeluk saya,” tutur Yahya.
Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia
menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan
apa yang dimimpikan Mutmainnah. “Tadinya saya sudah hampir cerai dengan
istri, karena dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi karena
mimpi itulah, malah akhirnya istri saya yang mengajak,” tandasnya.
Akhirnya, Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari
Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa,
Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah
Yahya dengan tulus mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan
Muhammad Yahya, dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitu
pun ketiga anaknya. Putri tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan
nama Nur Hidayah, Sarah (7 tahun) menjadi Siti Sarah, dan putra
bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan nama itu.
Masuknya Yahya ke agama Islam, menimbulkan banyak interpretasi.
Menurut Yahya, ada yang menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang
meragukannya, dan mungkin masih banyak interpretasi lain lagi tentang
dirinya. “Tapi cukup saja sampai pada interpretasi, jangan lagi melebar
ke yang lain,” pungkasnya.
***
Sabtu, 4 November 2006
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mengatakan