“Bu, ada teman yang mau datang bersilaturahim dengan ibu. Kapan bu
ada waktu” Siang itu kuhampiri ibu yang sedang duduk menonton televisi.
Ibu tak bereaksi apapun, seakan-akan tak mendengar dan merasakan
kehadiranku.
“Bu, teman itu bermaksud datang melamar. Bagaimana kalau…”
“Ibu tak peduli dengan semua urusanmu. Kalau ada apa-apa hubungi saja
kakek, biar kakek yang urus semuanya!” Dengan ketus ibu memotong
pembicaraanku.
Tanganku yang baru saja kuletakkan di atas tangannya ditepiskannya dengan kasar.
“Tapi ibu kan orang tuaku satu-satunya, mau ngak mau ibu harus tahu urusanku ini. Lagi pula….”
Tak kulanjutkan ucapanku karena ibu telah beranjak pergi Begitu saja.
Meski sudah kuduga ibu akan bersikap seperti ini, tapi tak urung air
mataku jatuh juga.
Sore itu aku ke rumah kakek, bapaknya ibu. Selama ini beliaulah yang
menopang ekonomi keluarga kami sejak bapak meninggal tujuh tahun lalu.
Mulanya kakek menolak. Alasannya aku baru saja menyelesaikan studiku
dan belum mengamalkan ilmu yang kuperoleh selama empat tahun.
Malah kakek menawariku pekerjaan. Menjadi front officer di
sebuah hotel berbintang milik seorang pengusaha yang kini menjadi orang
nomor dua di republik ini. Kakek memang dekat dengan pejabat dan orang
penting di daerah kami. Jadi, untuk urusan seperti ini bukanlah hal yang
sulit baginya.
“Di sana kamu boleh kok berkerudung. Saya sudah bicara dengan Pak JK
dan katanya hal itu bukan masalah,” bujuk kakek yang tahu kalau selama
ini aku menolak pekerjaan yang mempersoalkan kerudungku.
Tawaran kakek itu kutolak dengan hati-hati. Sebelumnya aku ditawari
teman kerja di bank konvensional. Sama seperti kakek, katanya aku boleh
berkerudung. Tapi aku tahu, kalau pun dibolehkan pasti yang dimaksud
bukan kerudung selebar yang kupakai sekarang. Apalagi saat ini diam-diam
aku telah ber-niqab (bercadar-red) meski tak seorang pun di
keluargaku yang tahu. Selain itu aku juga sadar, akan banyak pelanggaran
syariat yang harus kulakukan jika menerima tawaran itu.
Tapi terus terang sempat terlintas juga kenikmatan yang akan
kuperoleh bila mengiyakan tawaran-tawaran tersebut. Dengan materi yang
kudapat aku bisa membantu meringankan beban kakek dan ibu. Apalagi aku
masih punya delapan adik yang semuanya bersekolah, dan tentu saja masih
sangat membutuhkan banyak biaya.
Dan yang paling penting, aku bisa kembali mendapatkan cinta ibu. Cinta yang hilang sejak aku memutuskan hijrah,
setahun yang lalu. Ibu yang selama ini sangat hangat dan mencintaiku,
sehingga sering membuat adik-adikku iri, telah berubah dingin dan sangat
membenciku.
Mengingat semua itu air mataku kembali menetes. Ya Allah, hanya
Engkau yang tahu betapa inginnya aku membahagiakan orang-orang yang
sangat kucintai ini. Orang-orang yang paling berjasa dalam hidupku.
Orang-orang yang memang sudah sepantasnya mendapatkan baktiku.
Tapi ya Allah, aku tak sanggup kalau harus kembali berkubang maksiat
untuk memperoleh semua itu. Rasanya sudah cukup semua kemaksiatan yang
kulakukan selama ini. Aku tak ingin kembali sesat setelah Engkau
tunjukkan jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, hanya Engkaulah tempatku
mengadu dan bersandar.
“Sudahlah, kalau memang jodohnya biarkan saja. Daripada nanti jadi
perawan tua, toh kita juga yang repot!” Nenek yang selalu mendukungku
angkat bicara. Saat ini hanya beliaulah yang tidak berubah sikap. Malah
diam-diam beliau sering memberiku uang, karena tahu kakek telah
menghentikan bantuannya padaku.
Alhamdulillah, akhirnya kakek mau mengalah setelah sempat
berdebat panjang dengan nenek. Tapi kemudian aku terhenyak ketika kakek
menetapkan sejumlah uang yang menurutku cukup besar. Ya Allah, kalau
memang ikhwan ini jodohku dan ia baik bagi diri dan agamaku, maka
permudahkanlah urusan ini.
**
Pagi itu, tibalah hari yang sangat bersejarah dalam hidupku. Cuaca
yang sejak malam bersahabat, mendadak mendung dan gelap. Sepertinya
sebentar lagi turun hujan deras. Tapi gejala alam biasa itu rupanya
dimaknai lain oleh sebagian keluargaku. Entah siapa yang memulai,
beberapa orang kemudian berinisiatif membuang cabe ke atas genting.
“Biar hujannya tidak jadi turun!” begitu katanya ketika ditanyakan
motifnya. Tapi yang bikin ksal ialah ketika salah seorang tante meminta
(maaf) pakaian dalamku untuk dibuang ke genting. Katanya lebih ampuh
dari cabe. Tentu saja aku menolak sambil menjelaskan kalau tak ada
hubungannya antara pakaian dalam atau cabe dengan hujan.
Akhirnya, semua mengomel dengan kekerasanku. Apalagi tak lama
kemudian hujan turun deras dibareng dengan angin kencang. Kami sampai
sangat khawatir tenda-tenda akan roboh karenanya.
“Percuma, karena sudah terlambat membuangnya. Mestinya sebelum hujan
gerimisnya turun.” Lamat-lamat kudengar suara tante menjawab pertanyan
adikku.
Aku merasa curiga. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu. Buru-buru
kulongokkan kepalaku di jendela kamar. Di atas genting, kulihat beberapa
biji cabe dan tiga lembar pakaian dalamku yang berhasil diambilnya
tanpa sepengetahuanku, padahal sejak tante meminta aku telah mengunci
lemari pakaianku.
Alhamdulillah hujan deras dan angin kencang berhenti kurang
lebih setengah jam sebelum jadwal akad nkah. Di acara ini yang paling
banyak berperan adalah teman-teman ikhwan dan akhwat LDK kampus. Selain
karena ibu bersikeras tak ingin ikut campur, juga karena untuk pertama
kalinya dalam keluargaku diadakan walimahan yang memisahkan antara
mempelai wanita dan pria. Jadi, mereka belum tahu tata caranya.
Ada baiknya juga sikap keluar yang menyerahkan jalannya acara sepenuhnya padaku, meski suara suara sumbang tetap terdengar. Alhamdulillah, di walimahan ini tak ada musik maupun foto-foto. Semuanya berjalan sederhana dan sesuai syariat seperti keinginan kami.
Hampir sejam kemudian rombongan mempelai pria datang. Akad nikah pun
segera dilaksanakan. Setelah itu kami pun dipertemukan. Hanya sebentar,
karena keluarga suamiku memaksa masuk untuk melihatku. Suamiku hanya
sempat meletakkan tangannya di dahiku sembari berdoa dan setelah itu
bergegas keluar diikuti yang lainnya.
Aku pun bergerak keluar kamar. Dengan dituntun tante dan seorang
akhwat aku menuju ke barisan orang tua untuk sungkeman. Ketika giliran
ibu, beliau mendorong tubuhku sehingga aku hampir jatuh dibuatnya.
Aku menangis diperlakukan seperti itu. Kucoba mendekati ibu lagi,
tapi teman yang melihat gelagat tidak baik segera menarikku sembari
membisikkan agar aku sabar.
Aku pun dituntun untuk langsung menuju pelaminan. Dengan menahan air
mata dan rasa sesak di dada, kupaksakan kakiku melangkah. Sikap ibu
berlanjut dengan penolakannya menemuiku di pelaminan. Alhasil aku hanya
berdua dengan nenek disana. Sore harinya, sat semua sibuk membereskan
rumah, adik bungsuku datang menghampiriku. Dengan pelan ia menyampaikan
pesan ibu. Katanya aku tak boleh lagi tinggal di rumah ini bila sudah
menikah. Katanya, mulai sekarang aku bukan lagi tanggung jawab ibu
karena sudah ada yang menanggungku.
“Iya aku tahu kok, bilang ke ibu secepatnya kami akan pindah,”
jawabku berusaha bersikap biasa. Aku berusaha menahan gejolak hatiku
yang tiba-tiba sesak, menyadari betapa bencinya ibu padaku, padahal
sebelumnya akulah anak kesayangannya. Kehijrahanku telah membuat ibu
berubah sangat drastis. Hanya dua hari kami berada di rumah ibu.
Kemudian aku pun pindah ke rumah mertua. Disana aku disambut baik.
Sangat baik malah. Maka mulailah aku berinteraksi dengan keluarga
baruku, sambil belajar menyelami watak masing-masing dan senantiasa
berusaha menjadi anggota keluarga yang baik.
Sementara ibu tetap dengan sikap dinginnya. Walaupun demikian aku
tetap berusaha menyempatkan waktu mengunjunginya. Beliau lebih banyak
diam, tapi pada suamiku sudah mau “membuka mulut”. Aku pun senantiasa
berdoa agar Allah membuka hatinya dan menerimaku sehangat dulu lagi.
Sekitar dua tahun aku tinggal di rumah mertua. Suami yang seorang thalibul ‘ilmi mendapat tugas dakwah di daerah. Maka kami pun pindah menjalankan amanah yang baru pertama kalinya dibebankan pada suamiku.
Kini enam tahun telah berlalu, alhamdulillah sikap ibu telah
membaik. Beliau kembali hangat karena kami telah membuktikan bahwa tak
ada yang perlu dikhawatirkan dengan hijab syar’i-ku. Salah satu
penyebab sikap keras ibu selama ini, beliau takut dikucilkan para
tetangga karena anaknya berbeda dari yang lainnya.
Alhamdulillah aku berhasil membuktikan pada para tetangga bahwa meski berhijab, aku dan suamiku senantiasa menjaga silaturrahim
dengan mereka bila kami datang mengunjungi ibu. Malah kini mereka
terkadang meminta nasehat dan menanyakan hal-hal yang masih menjadi
tanda tanya tentang dakwah salaf ini.
Ya Allah, terima kasih atas semua nikmat yang telah Engkau
anugerahkan pada kami. Berilah kami kekuatan dan kemampuan untuk terus
mendakwahkan manhaj salaf ini agar mereka yang belum mengerti dapat paham dan mengamalkannya sebagai satu-satunya jalan untuk meraih ridha-Mu. Amin.
(Ummu Abdillah, Sulsel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mengatakan