بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Anisa,
seorang perempuan shaliha yang tak hanya sekedar cantik, perhiasan iman
dan keshalihannya menghiasi setiap langkahnya. Anisa cukup terkenal
dikalangan aktivis,bisa dibilang mobilitasnya lumayan tinggi. Anisa
mulai memasuki sebuah fase yang sering dialami setiap wanita. Usianya
memasuki angka duapuluh lima tahun,hatinya mulai dihiasi rasa rindu yang
tak bisa diurai dengan logika.
Perlahan Anisa menyusun kepingan-kepingan keinginannya dan mengumpulkan segenap kekuatan. Ia menemui murabbinya.
“ Mbak Hasna, saya ingin menikah. Tolong carikan saya calon ya Mbak…”
“ InsyaAllah dik,, biodata dan foto adik sudah disiapkan?”
“ Sudah mbak, ini biodata saya..”
“ Oke, adik jangan lupa terus berdoa ya…”
Dengan wajah penuh semangat dan azzam yang kuat, Anisa melangkah
meninggalkan rumah Hasna. Sejak itu ia tak pernah berhenti berdoa.
Setiap malam ia semakin rajin berkhalwat dengan Rabbnya. Sujudnya
semakin panjang menghiasi setiap shalatnya.
“ Ya Rabb, hamba
menyerahkan semua padaMu. Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang
terbaik untuk hamba. Hamba hanya ingin seorang lelaki shalih. Yang kan
mencintai hamba dengan kecintaanNya padaMu. Yang kan selalu membuat
hamba iri dengan ketaatannya padaMu. Hamba ingin seorang lelaki shalih,,
yang kan melepas hamba dengan ridha dan keikhlasannya ketika hamba
berpulang kepadaMu.. “ Itulah sepenggal doa Anisa..
Hari
berganti hari, belum ada kabar dari mbak Hasna. Disatu sisi Anisa
gelisah, disatu sisi dia terus berusaha menenangkan dan menguatkan
hatinya. Baru beberapa ia menyerahkan biodatanya, sedangkan diluar sana
mungkin ada yang telah menunggu bertahun-tahun. “Ah… harus tetap
semangat..!” bisiknya dalam hati.
Di tempat lain, sesosok
laki-laki shalih, sedang bermunajah di penghujung malam. Hatinya
menangis pilu. Beberapa kali hatinya terluka, lamarannya beberapa kali
ditolak. Sedangkan usia semakin menunjukkan angka yang semakin tua,
belum lagi orangtua yang semakin iba melihatnya tak kunjung bersanding
dengan bidadari. Keinginan untuk menikah pun tak bisa dibenddung lagi.
Ia tak tahu harus berikhtiar apalagi. Ia hanya bisa mengadukan pada
RabbNya, memohon segenap kekuatan dan semangat yang sempat padam.
“ Nak, bapak dan ibu selalu mendoakan kamu. Mungkin yang kemarin-kemarin memang belum yang terbaik buat kamu…”.
Ia, Ahmad, tak kuasa menahan haru ketika teringat ucapan ibunya.
Sebagai seorang laki-laki, ia cukup ideal. Ia laki-laki yang shalih,
mapan dan dari keluarga yang baik.
Suatu hari, ketika ia
beranjak dari tempat duduknya, setelah mengikuti kajian yang diadakan
IKADI, ada seorang sahabat menyapanya.
“ Assalammu’alaykum.. Ahmad, apa kabar?”
“ Wa’alaykumsalam, Adit, Alhamdulillah, aku baik. Kamu gimana Dit?”
“ Alhamdulillah, baik. Aku sekarang sudah hampir punya dua anak.
Istriku sedang hamil anak yang kedua. Kamu gimana? Sudah menikah?”
Ahmad yang tadinya ceria menyambut sapaan Adit kini berubah sedih.
Adit mengajaknya duduk dibawah pohon besar dekat masjid. Pohon rindang
yang lumayan menyejukkan. Kemudian Ahmad menceritakan semua kegagalannya
menjemput bidadarinya.
“ Ahmad, saudaraku, kamu harus tetep
semangat. Aku yakin bidadarimu tidak jauh lagi. Oh iya, kebetulan,
adik-adik istriku beberapa ada yang meminta tolong untuk dicarikan
suami. Gimana kalo kamu aku bantuin nyari juga? Siapa tahu jodoh?”
“ Bener nih Dit? Kamu serius?”
“ Ya iya lah Mad, urusan begini gak boleh lah main-main.”
Tidak menunggu lama, beberapa hari kemudian Ahmad silaturahim ke rumah
Adit. Adit adalah suami Hasna, guru ngaji Anisa. Adit dan Hasna
memberikan beberapa amplop tertutup yang isinya biodata muslimah. Ahmad
mengambil satu dan kemudian ia istikharah. Tiga hari kemudian, Ahmad
menyampaikan kemantapannya dengan muslimah yang pertama kali dia ambil
biodatanya. Biodata yang menuliskan nama Anisa. Hasna pun menyampaikan
kepada Anisa hingga proses ta’aruf pun terjadi
Mungkin inilah
yang dinamakan jodoh. Keluarga Anisa maupun Ahmad sangat bahagia dan
sangat merestui keduanya untuk menikah. Pertemuan keluargapun digelar,
kedua keluarga memilih untuk menggelar pernikahan yang sederhana. Semua
keluarga terlibat mempersiapkan pernikahan mereka. Termasuk Hasna dan
Adit, yang menjadi orang terdekat Anisa dan Ahmad.
Seperti
sebuah mimpi yang akan menjadi kenyataan bagi Anisa dan Ahmad. Beberapa
waktu lalu mereka masih dalam kegundahan, menanti siapakan belahan jiwa
mereka. Beberapa waktu lalu semua masih terbungkus rahasia dan
diselaputi misteri. Sekarang? Tak terasa sampai di dua hari menjelang
pernikahan.
“ Astaghfirullah, undangan buat temen-temen di
kampus ketinggalan…” gumam Anisa. Dengan secepat kilat Syifa
bersiap-siap menuju kampusnya. Ia akan menyampaikan undangannya ke
teman-teman rohisnya dikampus.
“ Mau kemana nduk? Kok buru-buru gitu?” tiba-tiba ibu menhampirinya.
“ Mau nganter undangan ke temen-temen di kampus Bu, ketinggalan gitu.”
“ Nitip ke teman kamu aja Nduk, siapa gitu, kamu jaga kondisi biar gak kecapekan, kan kemaren udah muter-muter..”
“ InsyaAllah gapapa Bu, sungkan kalo nitip-nitip gitu. Anisa berangkat dulu ya..”
Anisa akhirnya berangkat ke kampusnya naik angkot. Jam satu siang,
udara kota Malang sedang panas-panasnya tapi Anisa masih bersemangat.
Saat turun dari angkot, menuju gerbang kampusnya ia melihat seorang anak
kecil yang lucu sekali. Mirip ketika ia masih kecil dulu, pipinya
chubby dan imut. Anak kecil itu begitu aktif, namun tiba-tiba anak kecil
itu terlepas dari genggaman ibunya yang sedang merespon sapaan seorang
wanita. Anak itu berlarian. Anisa melihat sebuah sedan melaju cepat ke
arah anak kecil itu. Reflek Anisa berlari dan mendorong anak itu…
Braaaaaakkkk…..!!!
Anisa tertabrak,terlempar jauh,
bermeter-meter. Tubuhnya terguling hebat. Suasana menjadi riuh, banyak
orang berdatangan mengerumuni tubuh Anisa yang berlumuran darah. Anisa
tak sadarkan diri. Ia dilarikan kerumah sakit terdekat. Kondisi Anisa
semakin kritis. Dokter sedang berusaha menyelamatkannya . keluarganya
mulai berdatangan, ibu, ayah, adik, kakak dan beberapa paman dan
bibinya. Mereka tak bisa menahan isak tangis sedihnya.
Anisa
masih koma, tak sadarkan diri. Ibunya mencoba untuk tegar, dipakaikannya
jilbab pada putrinya yang shaliha. Ibu Anisa ingin putrinya tetap cantk
dalam balutan jilbabnya, jilbab pink kesayangannya. Tak lama kemudian
Ahmad dan kedua orangtuanya datang. Ibu Ahmad yang masuk ke ruang ICU,
Ahmad dan bapaknya menunggu diluar. Ibu Ahmad tak sanggup menahan
airmata pilunya, dia mencium kening calon menantunya yang tergeletak tak
berdaya.Ahmad pun tak bisa menyembunyikan kesedihannya, dia lebih
banyak diam.
Hari ini harusnya Anisa menjadi seorang
pengantin. Anisa masih tergolek lemah di ruang ICU, sesekali ia merespon
kehadiran orang-orang didekatnya dengan kedipan matanya yang sayu.
Dengan hati perih, Ahmad memasuki ruang ICU ditemani ibunya. “ Ibu,
Ahmad punya satu permintaan. Tolong ijinkan Ahmad menikah dengan Anisa
sekarang ya Bu…” Entah seperti kenapa, ibu Ahmad yang terlanjur
mencintai calon menantunya itu mengiyakan permintaan anaknya.
Setelah keinginan Ahmad disampaikan kepada semua keluarga. Pernikahan
pun segera disiapkan. Ibunya Anisa dan Ibunya Ahmad mendandani Anisa
hingga ia nampak begitu cantik dengan gaun pengantin yang sudah
dipersiapkan untuk hari bahagianya.
Suasana begitu haru, ayah
Anisa sendiri yang akan menikahkan putrinya dengan Ahmad. “ Saya
nikahkan putrid saya Anisa Nur Putri Himawan binti Arief Himawan dengan
engkau Ahmad Indrawan bin Husein dengan mas kawin seperangkat alat
shalat dibayar tunai…” “ Saya terima nikahnya Anisa Nur Putri Himawan
binti Arief HImawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar
tunai..” Dan saksi-saksi pun berkata, “Sah..!”. Doa barokahpun mengalir
menyambut perjanjian suci dua hati.
Hanya ada Ahmad dan Anisa
di ruang ICU, Ahmad menggenggam tangan Anisa, mencium kening istrinya
dan mendoakannya. Anisa meresponnya dengan senyuman. Ahmad bahagia
sekali. “ Dik Anisa, emm bolehkan aku panggil Dik Anisa? Aku senang
sekali akhirnya kita berdua dipertemukan Allah. Dik Anisa bahagia kan?
Oh iya, aku hafal Ar Rahman loh.. aku bacain buat kamu ya…” Ayat demi
ayat surah Ar Rahman mengalun menghiasi suasana romantis dua hati yang
sedang mensyukuri kebersamaan mereka. Mungkin terlihat seperti
kebersamaan yang sepi, namun dua hati mereka sedang berdialog dengan
cinta yang tak bisa terlukiskan oleh tinta. Hanya mereka dan Tuhan yang
tahu. Dan, ketika sampai di ayat yang terakhir, tangan Anisa menggenggam
erat tangan Ahmad.
“ Dik Anisa mau bilang sesuatu?”, tanya
Ahmad sembari mendekatkan telinganya. Namun tak terdengar apa-apa. Ahmad
mencoba melihat gerak bibir istrinya yang terlihat lemah. “ Iya Anisa,
aku insyaAllah ridho… sudah, anisa istirahat ya….” Anisa pun pelan-pelan
kembali menggerakkan bibirnya, seakan mengucapkan sesuatu. Terdiam,
pelan-pelan Anisa tersenyum dan menutup matanya untuk selamanya. Ahmad
tak kuasa menahan airmatanya. Istri yang dicintainya telah pergi. Ahmad
teringat dengan sebuah hadist, istri yang meninggal dunia dalam
keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi) “ Tunggu aku
di surga ya Dik Anisa…” ucap Ahmad dengan senyum dan airmata yang
bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mengatakan